Tuesday, April 22, 2008

mata bukan ilalang*

Di Matamu Yang Ilalang oleh ghe

Bad news first, nggak apa-apa, karena saya kira akhirnya puisi ini cukup kuat untuk mendengarkannya. Mungkin ada empat, pertama kata ilalang itu, yang sudah terlalu sering kita dengar di segala sesuatu yang 'puitis', dari D. Zawawi Imron's ‘Bulan Tertusuk [I]lalang’ sampai nama komunitas yang penyairnya banyak dimuat di Kompas Minggu. Kemudian matamu itu sendiri, sesuatu yang klise juga di bahasa puisi Indonesia. Contoh, satu saja dari segudang yang ada di toko buku Jose Rizal di tim misalnya adalah judul kumpulan puisi Johannes Sugianto tahun lalu ‘Di Lengkung Alis Matamu’ (bahkan di sini matamu ini sama sekali tidak perlu, alis ada di mana lagi kalau bukan di mata? ke mana aja editornya?). Kemudian pembandingan dua hal itu, ilalang dan matamu. Satu hal klise dibandingkan dengan satu hal klise lain. Two wrongs don't make a right, they make a bigger wrong!

Kemudian beberapa kata di dalam puisinya sendiri (selama ini kita baru sampai di judulnya), 'rinai', '[ku]riap', '[ber]kelindan', dan 'rekata', yang, selain juga kedengaran terlalu berbau halaman puisi Kompas Minggu, saya juga tidak langsung mengerti artinya. ini mungkin tidak langsung jelek. Walaupun bau basi, kalau kata-kata itu memang punya alasan kuat ada di situ, benar-benar dipilih untuk mengatakan sesuatu (atau bunyi, ini hal lain lagi, sekarang kita bicara maknanya dulu) yang memang tidak bisa dikatakan oleh kata lain, bukan hanya karena ingin 'puitis', ya mungkin memang harus dipakai. Kerak nasi aja bisa enak. Tapi, ini adalah hal yang buat saya perlu dipikirkan juga. Make it new! Kata beribu-ribu penyair (sebuah klise juga), tapi namanya juga klise, ada benarnya. Punya masalah nggak kita menulis puisi yang bunyinya (paling tidak) sama saja dengan banyak puisi lainnya? Apa nggak lebih baik bikin sesuatu yg baru? Atau mungkin si penulis puisi ini justru memilih hal yang lebih radikal dan susah lagi, memakai kata-kata klise tadi tapi memakainya dengan maksud yang spesifik, spesifik untuk tujuan puisinya ini? Sehingga yg tadinya klise jadi tidak klise lagi?

Okelah kita lihat. Pertama rinai. Saya lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Atau ini salah. Sebenarnya sebelum saya ambil KBBI saya sudah membaca puisi ini beberapa kali. Entah kenapa mengingatkan saya pada puisi Frans Nadjira 'Mimpi Dalam Demam' (saya lampirkan di bawah).* Mungkin karena saya jadi membayangkan pegunungan dan padang rumput yang berangin. Ya, gambarnya cukup jelas saya rasa, walaupun memakai kata-kata yang klise seperti ilalang dan rumput dan bintang. Mata itu tidak berlama-lama menjadi mata, langsung lenyap mejadi ilalang dan mulailah fantasi narator puisi ini, sebuah fantasi yang cukup kuat. Dia menemukan dirinya di padang ilalang dengan 'angin yang rinai', rebah, atau ingin rebah di atasnya, kalau dia bisa rebah di situ dia akan me'riap' rumput yg berkelindan di dada (sampai di sini sebenarnya agak membingungkan, ini dada siapa? Bukankah tadi dia ada di mata si penerima sajak ini? Tapi dada siapa sebenarnya akan jelas setelah kita tahu apa sebenarnya maksud si narator dengan 'kuriap' dan 'berkelindan' jadi ini nanti kita bahas pas membahas dua kata itu saja), kemudian telentang menatap 'rekata' (yg tadinya saya kira semacam compound rekat+kata, dan saya sempat miris membayangkan, oh no, not another poem ABOUT a poem! Kata-kata tentang kata-kata! Tapi tenang, saya salah kok), dan menanti hujan bintang. Lucu, saya membayangkannya seperti campuran stardust dan angin rumput savanna.

Menurut KBBI 'hari rinai' ternyata berarti 'hari hujan rintik2' tapi 'rinai' sebagai kata kerja (merinai) juga berarti 'bersenandung, bernyanyi-nyanyi kecil'. Ini kejutan yang menyenangkan. Mungkin penulis sajak ini memang merasa harus memakai kata rinai ini karena dia memang membayangkan dua hal sekaligus, di padang ilalang yang mata pacarnya itu mungkin memang hujan sedang turun rintik-rintik dan lagi ada angin yang bernyanyi-nyanyi kecil. Lucu bukan? Yah, mungkin juga si penulis sajak ini tidak memakai KBBI dan mungkin juga dari dua arti rinai itu mungkin di kepalanya hanya ada satu (mungkin yang 'bernyanyi-nyanyi kecil' karena dia meletakkan rinai begitu dekat ke angin, tapi bisa juga kan itu angin besar yang mulai membawa gerimis, yang mungkin belum turun di situ tapi sudah deras di padang seberang sana?), tapi bagi saya walaupun misalnya penyairnya tidak sengaja—dan saya sih entah kenapa yakin penyair ini cukup sengaja, bahwa saya bisa, punya kemungkinan, membaca rinai itu seperti itu tetap menyenangkan. I don't care if the author's dead or alive, as long as his words are alive. dan 'rinai' ini, so alive!

Perhitungkan juga kemungkinan hubungan rinai yg hujan ini dengan 'hujan bintang' di baris terakhir. Saya tadi sudah cukup senang dengan gambar hujan bintang di padang ilalang, dan sekarang setelah tahu mungkin sebelum hujan bintang itu sudah ada hujan rintik-rintik di situ, gambar ini jadi lebih lucu dan kompleks lagi: apakah si narator ini ternyata agak tersiksa juga di padang itu dengan segala macam gerimis dan anginnya dan sedang menanti langit cerah dan bintang-bintang muncul lagi? Dan kalau kita ingat lagi padang ilalang ini sebenarnya adalah mata kekasihnya, apakah hujan berarti air mata? Apakah mereka habis berantem dan sekarang si penyair ini sedang membujuk pacarnya supaya baikan? Supaya matanya penuh bintang lagi (ingat, mata juga sering sekali dibandingkan atau diasosiasikan dengan bintang bahkan di buku diary anak SMP)? Jadi ternyata di puisi yang awalnya hanya kelihatan romantis dan menye ini sebenarnya juga tersembunyi kesedihan? Oke, oke sekali pilihan kata rinai ini ternyata.

Kemudian [ku]'riap' dan [ber]'kelindan'. kbbi bilang 'meriap' = 'tumbuh atau bertambah besar; bertambah banyak', sementara 'berkelindan' (yang sekarang pasti akan anda dengar di seminar akademik di mana saja sebagai bagian dari ekspresi du jour 'berjalin berkelindan', padahal mungkin maksudnya cuma 'ada hubungannya') = 'erat menjadi satu', tapi 'kelindan' sendiri adalah kata benda arkaik yang berarti 'benang yang baru dipintal' atau 'benang yang sudah dimasukkan ke dalam lubang jarum.' Yay! So many possibilities! Bayangkan, berarti 'dada' ini kelihatannya adalah dada si penyair, dia rebah (di punggungnya) di padang ilalang itu, dan melihat di dadanya ada rumput yg tumbuh (dan berarti dia telanjang dada bukan, di tengah angin dan hujan rintik2 itu, nggak dingin? Mungkin semarah itukah pacarnya padanya sehingga dia (harus) merasa begitu tersiksa? Atau dia memang drama queen dan lagi cari simpati?).

Mungkin jelas di sini rumput adalah metafor untuk cinta, cinta si penyair pada si pemilik mata/ilalang, yang tumbuh langsung dari dadanya, yang ingin ia 'riap' supaya 'bertambah besar dan banyak'. Yang lebih menarik lagi bagi saya adalah bahwa rumput itu sudah berkelindan di dadanya. Bukan hanya cintanya yg ada di situ tapi juga cinta pacarnya, mereka sudah 'erat menjadi satu.' Buat saya di sini pun sudah jelas ada metafor seksual di sini, yang dibuat jadi semakin kuat dan spesifik dengan arti arkaik 'kelindan' tadi. mungkin cinta mereka adalah cinta yg baru, seperti 'benang yg baru dipintal', walaupun begitu benang itu 'sudah dimasukkan ke dalam lubang jarum'. Obvious sexual metaphor!

Dan menjadi semakin misterius dan menggelitik lagi kalau kita ingat pepatah 'seperti menegakkan benang basah'. Apakah ini masalahnya kenapa mereka berantem??? Karena benangnya (entah benang/penis siapa karena tidak ada petunjuk jelas siapa yang cowok dan siapa yang cewek, atau apakah cowok dan cewek atau cowok dan cowok atau cewek dan cewek—walaupun saya punya perasaan entah kenapa penulis sajak ini cowok) tidak pernah bisa tegak? (tentu saja benang bisa diinterpretasikan sebagai cinta itu sendiri, cinta mereka seperti rumput yg seperti benang yg tidak pernah bisa tegak (karena basah terus karena hujan rintik-rintik tadi yang adalah air matanya 'matamu').

Tapi sekali lagi, bahwa sajak ini, karena pilihan kata 'kelindan' itu, mengijinkan ada interpretasi yg seksual tadi (dan benang yg masuk ke lubang jarum tadi juga mengingatkan saya bahwa banyak barang-barang tajam (caution: menyakitkan!) di puisi ini: ilalang, rumput, gerimis dan hujan yg seperti jarum. bukan berarti seks yg dilakukan si penyair dan pacarnya pasti sado-masochist, tapi menebar barang-barang tajam di puisi ini bisa saya rasakan waktu membacanya, membuat saya jadi merasa seperti takut ketusuk, dan dalam puisi yg bisa dirasakan pembaca kadang-kadang bisa lebih penting daripada yg bisa dimengertinya) selain interpretasi standar yg hanya melibatkan cinta suci non-karnal, itu sangat mengasyikkan buat saya, pembacanya.

Kalau saya bilang kemungkinan itu lebih mengasyikkan daripada jawaban yg pasti (mana interpretasi yang benar?), yang tidak disediakan oleh puisi ini, itu akan jadi sebuah klise sendiri, mungkin lebih baik digambarkan begini: karena puisi ini hanya memberi kemungkinan, seperti memberi rumus, sebenarnya kita bebas mempermainkan rumus itu sampai sejauh mana, tapi kita tetap punya puisi itu (ie, pertanyaan yg harus kita pecahkan dengan rumus itu (atau sebenarnya malah masih ada lagi rumus lain yg juga bisa dipakai!)), dan ketegangan antara keinginan kita untuk bermain-main dengan kemungkinan-kemungkinan tadi dan semacam rasa wajib atau berhutang (karena kita sudah diberi sesuatu yang begitu asyik) untuk mengerti puisi itu seperti yg ditulis oleh penulisnya, itulah yg mengasyikkan.

Dan tenang, 'rekata' ternyata bukan = rekat + kata. rekata adalah kata arkaik lagi (yg membuat semakin mungkin penyair ini memang memilih kata-kata-nya dengan sengaja dan hati-hati, atau dia anak indie yg bukan hanya pakaiannya saja yang vintage!) yang artinya 'kala (bintang atau rasi)'. Sekarang dia telentang menatap scorpio (walaupun ingat, semua ini adalah harapan si narator, dia 'ingin', 'kan', tapi mungkin juga keinginannya, fantasinya, begitu kuat sehingga dia sudah tidak bisa membedakannya dengan kenyataan (sounds like he's in denial)), langit mulai cerah, dia menyilang tangan di belakang kepala dan dalam sesuatu yang terasa seperti sebuah ketabahan yang mengasyikkan menunggu bintang-bintang yang membentuk konstelasi itu menghujani(dada?)nya dan menggambar tato berbentuk kalajengking di situ.

Semua ini adalah usaha untuk memahami puisi ini, yang menyediakan cukup banyak teka-teki sehingga usaha ini jadi cukup asyik dan mengasyikkan (apa bedanya?) tapi kalau misalnya saya dipaksa untuk bilang apakah saya suka atau tidak suka pada puisi ini saya masih ragu-ragu juga. Seperti semoga sudah jelas, maksud, arti, puisi ini cukup menarik dan dikatakan dengan cukup jernih, tapi tentu puisi bukan cuma masalah maksud dan arti.

Puisi juga soal bunyi (antara banyak lagi yang lain), dan sebenarnya bunyi puisi ini juga enak, tidak ada yang janggal. Memenggalnya jadi dua paragraf yg pertama menggambarkan aksi si narator dan yang kedua yang lebih singkat menggambarkan maksud aksi di atas juga logis, selalu ada caesura di antara aksi dan maksud bukan? Puisi ini jadi semacam sonnet mini. selain itu, ironi yang diciptakan antara nadanya yang rapi dan merdu seperti lullaby kepada diri sendiri, dan kegelisahan dan kecemasan yang disembunyikannya, membuat kegelisahan dan kecemasan itu makin menusuk. (Pertimbangkan juga kemungkinan satu ironi lagi, bahwa kalau lagu singkat ini adalah sebuah lullaby, ia lullaby yang ingin mengantarkan si narator bukan untuk tidur tapi untuk terjaga, supaya bisa 'telentang menatap rekata', sampai kapan?, mungkin dia harus insomnia selamanya!)

Tapi juga dalam hal bunyi inilah puisi ini punya masalah. Seperti sudah saya bilang di awal, saya sudah bosan dengan kata-kata ilalang, matamu, rumput, bintang, hujan, matamu lagi (sampai 3x termasuk judul), ilalang lagi (3x juga). Seperti sudah saya jelaskan juga, ternyata pilihan kata-kata dalam puisi ini memang ada alasannya, dan kuat, jadi mungkin memang puisi ini harus berbunyi seperti sekarang. Tapi saya juga jadi berandai-andai, karena fantasi penyair ini sebenarnya cukup kuat, mata itu benar-benar jadi seperti ilalang, apa jadinya kalau dia mencoba bakat berfantasinya itu pada skenario lain, pada sebuah puisi berjudul 'di cuping hidungmu yang london' misalnya? Jangan anggap ini sebagai sebuah saran 'seharusnya', anggaplah sekedar pertanyaan saya saja, sebuah kemungkinan, karena saya ingin tahu.

'Benar-benar jadi SEPERTI ilalang.' Kenapa saya bilang SEPERTI, bukan 'jadi ilalang' langsung saja? Karena kelihatannya itu yg dibilang penyairnya. sepanjang puisi ini, sejak judul, mata ini adalah mata yang (seperti) ilalang. Paling tidak, dua hal ini adalah hal yang setara dan ada pada waktu yang bersamaan, matamu adalah ilalang dan ilalang adalah matamu, tapi dua hal itu tetap dua hal yg berbeda. Sebuah perumpamaan, simile if you will. Membandingkan dua hal yg tak sama. melupakan sejenak bahwa mata dan ilalang adalah dua hal yg klise, dan perbandingan di antaranya pun juga, mata dan ilalang adalah dua hal yg cukup (tidak lagi sangat karena cukup sering dibandingkan!) berbeda, dan karena itu banyak hal yg menarik akan muncul (dan sudah) dari pembandingan itu. Tapi sekarang coba bandingkan (ha!) apa yg terjadi dengan 'matamu' di puisi ini dengan apa yg terjadi dengan 'mata' di puisi Saut Situmorang di bawah ini:

mata mawar

sepasang mawar merah mekar di matamu
membakar malam yang sunyi di hatiku

sepasang mawar merah mekar di matamu
malam yang sunyi jadi panas di hatiku

sepasang matamu jadi danau tak berombak
menyimpan duri tajam yang tak nampak

malam yang sunyi di hatiku
malam yang panas di hatiku
berdarah tergores duri matamu

sepasang mawar merah mekar di mataMu
durinya jadi bulan mati di hatiku

(Saut Situmorang, Saut Kecil Bicara Dengan Tuhan, Bentang Budaya, 2003, hlm. 7)

Di sini, mawar MEKAR di matamu, matamu JADI danau tak berombak, dan karena di mata itu sekarang tumbuh mawar (yang belum sempat dipotongi duri-duri-nya, dan duri-duri ini, ingat, 'tak nampak' karena disembunyikan oleh 'danau tak berombak' yg TADINYA 'sepasang matamu' tadi), malam di hati si penyair 'berdarah tergores duri matamu'. Blablabla. Poin saya adalah, di sini mata dan sepasang mawar dan danau tak berombak (no prize for guessing what this looks like/mean/is a metaphor of!) dan duri-duri itu, berhenti menjadi dua, tiga, empat hal yang berbeda dan MENJADI satu. seperti bisa dilihat sekarang di judulnya 'mata mawar'. Bukan (lagi) mata yang mawar atau mata seperti mawar.

'Matamu' sekarang tak ada lagi, yang ada hanya 'mata mawar' ini. Tidak ada perumpamaan, yang ada adalah metamorfosis dari sebuah mata menjadi mata mawar. Kenapa saya pikir ini lebih kuat (kalau belum jelas memang ini yg saya pikirkan) daripada hanya membandingkan mata dengan setangkai mawar? Banyak hal sebenarnya, misalnya waktu jadi bergerak. Saya jadi bisa merasakan mawar mekar di mata itu, seperti dalam fast-motion nature documentary di discovery channel, dari tidak ada menjadi ada. Kemudian danau muncul di sana, dan di bawah permukaannya tumbuh duri-duri. Semua ini seperti bergerak, dalam waktu. Dan waktu tidak bisa di-rewind. Di akhir puisi ini, waktu si penyair bilang duri mata mawar itu jadi bulan mati di hatiku, suasana jadi begitu menekan, karena mungkin selamanya akan begitu terus, kalau tidak malah jadi tambah buruk.

Dan ini: karena sebuah mawar merah benar-benar telah mekar di mata itu, durinya juga jadi terasa telah benar-benar jadi bulan mati (pastinya bulan sabit karena duri bentuknya lebih mirip itu daripada bulan purnama, jadi semakin menusuk bok!) yang sekarang benar-benar menusuk-nusuk hatinya. Sementara di 'di matamu yang ilalang', fantasi kuat tentang padang ilalang yang gerimis, angin yang menyanyi, rumput yang tumbuh di dada yang telentang menanti hujan bintang itu, seperti berakhir dengan sebuah anti-klimaks: 'di matamu yang ilalang.' Oh, ini tadi bukan benar-benar padang ilalang toh, hanya matamu.

Tentu sebenarnya si penyair ini telah benar-benar melihat padang ilalang itu di mata siapapun-mu itu. Sebenarnya semuanya ini bukanlah fantasinya, melainkan kenyataannya. Kenapa malu mengakuinya?

*mimpi dalam demam
Frans Nadjira

Seorang perempuan
berbaju hitam
menebar jala
di atas rerumputan

Lalu turun gerimis
Dari atas bukit-bukit
serombongan anak-anak
bernyanyi

Kami telah menadah angin
mengumpulkannya dalam keranjang
Kami telah memetik matahari
memasukkannya dalam keranjang
bercampur bunga-bunga.

(Frans Nadjira, Singgalang, tahun 19 nomor 3553, Senin 22 Desember 1986, hlm. 6 kolom 1.)

* pernah dimuat di kemudian.com
Blogged with the Flock Browser

Hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahaha ti.*

Hati oleh ghe

duh.

hatimu berserakan di lantai kamarku

sebentar. kuambil pengki dan sapu



Saya tertawa membaca ini. Sebentar, jangan tertawa dulu. Tertawa barang langka sekarang dalam sastra Indonesia, paling tidak (meneruskan rant saya dua di sesi satu kemarin) yang diakui oleh koran-koran Minggu. Dan orang sebenarnya rindu ketawa, lihat ini. Jadi, satu hal penting dulu, hanya karena saya tertawa, bukan berarti sajak kecil ini lebih 'ringan' apalagi lebih tidak bermutu daripada sajak yang membuat saya mengerutkan dahi atau mengelus-elus dada (ini juga mungkin terjadi gara-gara saya bingung dan putus asa nggak ngerti artinya, belum tentu karena sajaknya menyedihkan dan membuat trenyuh).

Saya tertawa karena apa? Pertama-tama, tidak jelas. Tapi menurut saya, alasan tertawa memang susah dijelaskan. Tidak semua orang akan menertawakan hal yang sama. Dan hal yang sama-sama ditertawakan mungkin sekali tidak ditertawakan karena alasan yang sama. Ada alasannya kenapa Freud menjuduli kitab sucinya tentang humor 'Jokes and their Relation to the Unconscious', karena kelihatannya memang itulah yang diserang oleh sebuah lelucon, alam bawah sadar kita, sebelum sadar kenapa, kita sudah tertawa duluan.

Tapi marilah kita bermain Oprah sebentar, jadi psikoanalis amatiran.

Mungkin yang pertama membuat saya ketawa adalah anti-klimaks sajak ini, 'sebentar. kuambil pengki dan sapu'. si pacar (eks pacar!) sadar hati (eks)pacarnya berserakan di lantai kamar (pastinya dia sendiri yang menghancurkannya!) tapi reaksinya bukan, misalnya, 'nih, bunga sekeranjang!', dia hanya akan menyapu serpihan-serpihan hati itu, menggiringnya ke pengki, dan kemudian saya bayangkan, ke mana lagi kalau bukan membuangnya ke tempat sampah! dan perhatikan titik setelah sebentar itu. bukan 'sebentar, (koma) ...' seberapakah sebentar yang diikuti titik itu? si (eks)pacar berdiri (atau mungkin tergeletak pingsan di lantai) tanpa hati, dan masih juga dia disuruh menunggu! mana emergency response-nya!

Tapi mungkin sebelum itu saya sudah ketawa karena 'duh.' di baris pertama. ini (lagi-lagi diikuti titik yang nyantai, bukan koma yang tergesa apalagi tanda pentung yang panik) duh khawatir atau duh kebosanan? duuuh, lagi deh, gimana siiih!

Kesinisan penyair, yang dikatakan dengan begitu dead pan, buat saya sangat menghibur. Buat saya, kesinisan adalah emosi yang sama real-nya dengan, misalnya, penyesalan. Dan penyesalan sudah diberikan terlalu banyak tempat di koran Minggu (tetep).

Tapi ini masalah yang buat saya memang besar. Sejak puisi mbeling di tahun '70-an (cari antologi 'Penyair Muda Di Depan Forum' di toko buku Jose Rizal di TIM), baru 'Antologi Bunga Matahari' (2005) yang dengan sadar memberi tempat utk emosi-emosi yang tidak melulu muram. (Joko Pinurbo bisa lucu juga, tapi pada dasarnya dia seorang romantis yang paling suka kalau bisa menguras air mata pembacanya.)

Mungkin selain tertawa karena sajak ini lucu, saya juga tertawa lega karena sajak ini tidak membiarkan dirinya tenggelam dalam romantisme, apalagi sentimentalisme, yang palsu.

Tidak tahu apakah ini sengaja atau tidak, mungkin tidak penting sengaja atau tidak, saya juga suka dengan bentuk visual sajak ini. Pendek, cuma tiga baris, yg membuat saya berpikir tentang haiku, atau misalnya ini:

Malam Lebaran

Bulan

Di atas kuburan

(Sitor Situmorang)

Yang juga mungkin membuat saya secara tidak sadar menanti sesuatu yang penuh kekhidmatan seperti itu. Penantian yang langsung hancur berserakan setelah membaca 'duh.' tadi.

Perrmainan bentuk seperti ini, mengkhianati bentuk, tentu bisa menjadi salah satu senjata penyair yang ampuh. Seperti Sitor sendiri misalnya, dengan (nyaris)pantun-nya 'Si Anak Hilang' yang pulang ke bentuk tradisional hanya untuk memberi tahu bahwa si anak hilang ini tidak mungkin pulang!

Dan lagi2, parodi bentuk seperti ini juga jarang sekali ditemui sekarang di koran-koran Minggu. Yang kebanyakan memuat verse yang sok libre. Satu lagi centang dengan bolpen hijau untuk puisi 'Hati' ini.

Satu lagi yang membuat saya penasaran tentang ini, dan yang juga lama tidak disinggung oleh sastra Indonesia, terutama kritik(us)2nya adalah fungsi retorik puisi ini. Dia diucapkan untuk apa? Apakah misalnya, untuk membuat (eks)pacar ini jadi lebih kesal sehingga dia akhirnya meninggalkan kamar terus si penyair bisa tenang hore2 main Wii? Kita suka lupa puisi punya maksud pragmatis seperti itu juga. Dan seandainya itu benar, betapa efektifnya puisi ini! (Eks)pacar mana yang tidak akan semakin muak dengan penyair tanpa hati seperti ini!

Hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahaha
hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahaha
hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahaha
hahahahahahahahahahahahahahahahahahahaha

ha.

* pernah dimuat di kemudian.com
Blogged with the Flock Browser

depressed diaspora of the world unite!*


In the Cold November Rain
The Bus Driver’s Wife
Five Minutes
Oleh
FrenZy

Not only are these stories written in English, they’re set outside Indonesia, the first in London, then Brisbane, and Melbourne.

Gets rid of one problem: something that sometimes Laksmi Pamuntjak (say) struggles with in her English poems/short-stories. Like I’ve written and pointed out so many times here. I’m sick of it myself, if you write in English about Hotel Grand Menteng, would you say it’s a ‘love-motel’, as Laksmi does, taking a run-o-the mill Ameringlish idiom to describe something Indonesian, or use a term like ‘check-in place’ since that’s what we Indonesians call it? Not idiomatic English perhaps, but isn’t it more real? What is real? What use is real in fiction?

But I’m not gonna talk about language, it’s boring. Sure there are some awkward expressions, like ‘resisting my desperation to choke out loud’ (Cold November Rain) or ‘this whole ticket buying scheme had finally been mastered’ (The Bus Driver’s Wife), but you’d get that even in something written by a budding writer from Toorak, nothing that a good editor can’t fix. (If indeed it needs be fixed.)

The first story is actually nowhere near as horrendous as the title suggests—the infamous Guns N’ Roses operock video, though like the song, the story is also about unrequited love. At one page nowhere near as epic of course.

A woman sitting in a room in ‘depressing London weather in November, the unfriendly humid air poisoning my oily skin’ (depressing London weather is a bit of a tautology, but the real problem/the problem of the real in this sentence is ‘the humid air’, how could it be humid in London, in early winter? Is it the cheap Tesco heater that makes your hands and feet all clammy? Problem of verisimilitude. But why is this problematic? Or is it? I guess if this were a sci-fi short set in post-apocalyptic global-scorched London then I wouldn’t have batted an eyelid on ‘humid London November’, but as we shall see, this story is basically a realist vignette, and in a slice-of-life I guess it’s reasonable that we expect the life to be as we know it.), ‘wrapped in a dirty bath towel, chain smoking’, staring at ‘a bottle of painkillers’ on (probably) top of the sink.

So the woman is depressed. But she was ‘too wound up to care.’ Then it turns out that she’s too wound up because she cares too much. For ‘the motionless body next to me. A man’s body.’ They’d fucked two hours ago after he turned up on her doorstep and he: ‘I need you’, and she: ‘You need a place to stay.’ Funny. Then she: ‘I love you,’ then he: ‘Thank you.’ A bit more standard dark humour, but believable.

Then the answers for all the dark humour, the painkillers, the depressing London scene: ‘Will your wife come looking for you? Will you say goodbye and never come back?’ Like Axl said, nothing lasts forever / in the cold November rain, but perhaps, some things do, like a sob story set in grey London.

The second story, perhaps the most interesting, begins with the simple, short, sentence ‘The bus driver is my best friend.’ Which somehow sounds kinda depressing. Bus driver? What about a stripper? And it gets worse, ‘He is an old man nearing his sixties, … a Russian-Australian, … his Australian accent is very thick since he spends most of his life in Brisbane, … with a nametag that says Steve.’ Perhaps the most depressing thing is that nametag, what’s wrong with Stefanovich, why would you try so hard to fit in to Brisbane, land of tight stubbies and Bir Bintang singlets, why would you move to Brisbane at all?

They’d become friends because when the narrator, a girl, moved to Australia, she was ‘dominated by fear and loneliness’ (in Brisbane, wouldn’t blame ya girl), and Steve likes to chat about his sad bus-driving life, bad pay, unhappy wife, the usual sob story. But the narrator thought Steve was ‘very different. … unlike the other grumpy bus drivers who shout at foreigners.’ Aha! Maybe because Steve was a foreigner himself! A depressed diaspora just like the narrator!

Misery loves company especially when it’s a young probably pretty Asian international student. Or a granddad who happily listens to a pretty Asian international student’s stories of her ‘need to get away from a very bad breakup’ and her subsequent loneliness (girl on the rebound!). Then one night Steve told rebounding girl he was gonna quit his job, wife was leaving him because he was, yes, a total loser, and he might just as well pack his bags and move back to Russia.

Nyet! thought rebound girl.

‘I’m just an old man, what do I have except a rusty bag and a passport?’
‘You have love.’
‘No, dear. We have memories.’

And as if the thought of soldiering on in life in snowy Ukraine with a bag full of memories of hot summer afternoons in Brisbane verandahs was way too depressing, this story ends with Steve’s wife getting on the bus at the last stop as narrator girl gets off. Reconciliation.

‘What am I to know all about love? I do not even have love. My ex boyfriend is an emotional abuser and I have given up on love a long time ago.’ (Narrator girl’s monologue, all in her head.) But girl, from the ending you’ve given us, looks like you really haven’t.

The third story, ‘Five Minutes’, about a man who, accompanied by a kid, observes and bitches about people in a park ‘in the heart of Melbourne’, and the kid turns out to be the man’s imaginary friend and the man turns out to be a geriatric granddad suffering either from Alzheimer or multiple sclerosis that has left him ‘unable to speak and move, all I can do is feel,’ (some people have all the luck) I thought must’ve been written by the same author who wrote ‘In the Cold November Rain’ since both titles were accompanied with the date of writing ‘January 2007.’ Not only that, in ‘Five Minutes’ the author wrote that ‘people scurry through … to get to the tube station.’ But the tube is in London, in Melbourne it’s the train. (Or the tram if you wanna be all romantic and olde-worlde.)

That problem of verisimilitude again. Perhaps the author mixed up his/her memories of London and Melbourne and the two cities merge into one. (After all, Melbourne is the one city in Australia with European pretensions, though it’s Paris they aim for, what with the parks, the sidewalk cafés et al., and it rains there the whole time too.) But I imagine a Melburnian would object to see his ordinary train station be written as ‘the tube’, and this brings me back to Laksmi Pamuntjak: so why shouldn’t I complain that she calls Hotel Grand Menteng (say) with the pissweak appellation ‘love motel’? We’ve already got ‘check-in place’, why not use it? What is wrong with the more real?

The imaginary kid disappears and the story ends. Which makes me think: these are all depressing stories, but I like them much more than the sugar-coated inspirational stories millions of people bought in Andrea Hirata’s Edensor. (About his student days in Paris dan sekitarnya.)

* pernah dimuat di kemudian.com
Blogged with the Flock Browser

mangga muda problem lama*

Mangga muda oleh ghe

Sebelum mulai bicara tentang puisi ‘Mangga muda’ (ya, m yang kedua memang kecil, penulisnya Francophile ya?) ini saya ingin ngomong sebentar tentang proses review buat kemudian.com ini. Mungkin semua orang sudah tahu juga, saya diberi pilihan beberapa tulisan untuk direview tanpa pernah tahu nama atau siapa penulisnya. Alasannya jelas tentu—paling tidak ini asumsi saya—untuk mencegah kongkalikong, mencegah reviewer seperti saya menulis review penuh gula-gula untuk penulis yang manis dan kebetulan adik pacar saya. Tapi kemudian saya pikir, ini kan bukan lomba? Lagian, saya justru merasa perlu tahu latar belakang seorang penulis, bukan hanya namanya saja, kalau bisa saya ingin tahu buku apa saja yang dia baca waktu tumbuh dewasa, di kota mana dia dibesarkan, (dalam konteks Indonesia bhinneka tunggal ika ini) suku dia apa. dia suka mendengarkan musik apa, heroes atau csi, etc. etc.

Seperti di review saya yang kemarin tentang tiga cerpen berbahasa Inggris yang ternyata ditulis oleh satu orang itu (saya cuma berani menebak waktu itu dua dari tiga cerita itu ditulis oleh orang yang sama) saya ingin juga tahu apakah dia benar-benar pernah tinggal di London atau dia hanya mengkhayalkannya saja dengan bahan-bahan yang pastinya banyak dia dapatkan waktu dia tinggal di Brisbane. Atau malah sebaliknya? Kelihatannya sih tidak. Atau dia mengkhayal tentang semua tempat itu dan selama ini dia tinggal di Tebet (ala Ratih Kumala dan Tabula Rasa-nya)? Buat saya hal-hal seperti ini bukan hanya menarik tapi juga penting, karena misalnya saja waktu itu saya sempat bertanya kok dia bisa-bisanya bilang London humid di bulan November? Nah, kalau misalnya dia hanya pernah tinggal di Australia dan hanya pernah transit di Heathrow tiga jam sebelum terus ke Stockholm saya jadi bisa tahu pastinya itu dia lakukan karena dia mencampurkan waktu musim panas Australia yang berada di belahan bumi selatan dengan London di bumi utara. Saya jadi tahu dia cuma perlu merevisi pelajaran geografi SMU-nya saja. Tapi kalau misalnya ternyata dia pernah belajar seni patung di St. Martins College setelah capek belajar Masters ekonomi di Brisbane saya jadi bisa bilang mungkin dia lagi mencampuradukkan memori historisnya. Dan kalau dia ternyata masih sekolah di SMU 26, yah, spekulasi sendiri saja kira-kira kesimpulan macam apa yang bisa kita tarik tentang cerita-cerita itu.

Menurut saya ini masalah yang penting, karena di Indonesia kelihatannya kritikus sastra suka malas atau tidak bersedia menyambungkan tulisan dengan dunia penulisnya. Semacam hangover dari New Criticism saya yakin mereka juga tidak pernah benar-benar mengerti juga. Seperti misalnya kata pengantar Nirwan Dewanto di buku ‘Ripin: Cerpen Kompas PIlihan 2005-2006’. Di situ dia sama sekali tidak pernah benar-benar membahas di cerita ‘Ripin’ karya Ugoran Prasad yang ia anggap cerita terbaik di Kompas selama periode 2005-2006 itu siapa itu si Ripin, apa yang terjadi dengannya (bapaknya mati ditembak Petrus—ini twist-nya haha sori ya spoiler haters), kenapa Ugoran memilih masalah Petrus ini untuk cerpennya, apa masih menarik menulis tentang Petrus, etc. etc. Hal-hal yang menurut saya lebih menarik tentang ini daripada misalnya, ‘[dalam Ripin] kita sampai pada paradoks yang menggetarkan: antara kokohnya alur dengan hasrat para tokoh untuk keluar dari tindasan, antara keasyikan sudut pandang dengan kekasaran latar cerita, antara mustahaknya tutup cerita dengan ketidakpastian nasib Ripin si tokoh utama.’ (Nirwan Dewanto dalam ‘Ripin etc.’ hlm. xxvi.) Tindasan macam apa? Dari siapa? Kenapa ada di situ? Kekasaran macam apa? Siapa? Kenapa ada di situ? Apakah penting, menarik, membosankan, biasa-biasa saja semua itu ada di situ? Dan, apa arti mustahak? ;)

Buat saya kritik macam di atas, yang kelihatannya menganggap hanya arsitektur sebuah tulisan saja yang penting (semacam versi Taliban New Criticism), sama saja dengan bilang foie gras itu mak nyusss tapi tak pernah bilang (karena memang tak tahu karena memang tak mau tahu!) makanan itu terbuat dari apa.

Mungkin semua ini kedengaran terlalu panjang tapi pun sudah langsung relevan begitu kita membaca judul sajak kita kali ini ini: ‘Mangga muda.’ Karena saya orang Indonesia atau paling tidak orang Jawa, membaca judul ini langsung terbayang di kepala saya berbagai macam bayangan tentang mangga muda: dicocol campuran garam dan cabe enak, makanan perempuan lagi ngidam, tergantung musim ada atau tidaknya di pasar (paling tidak dulu sebelum globalisasi mangga karbitan melanda Total). Dan begitu membaca baris pertama sajak ini, nah benar kan saya. Sekarang bayangkan misalnya saya seorang wannabe Indonesianis asal Alaska yang belum dapat-dapat juga beasiswa pertukaran pelajar ke UGM tapi saya nekat menulis review tentang sajak ini dan karena saya memang tidak tahu dan malas bertanya pada supervisor saya, saya tidak pernah mempertimbangkan semua imej kultural spesifik tentang mangga muda ini dan hanya sibuk menyatakan betapa pengulangan dua kata mangga muda ini menghipnotis seperti mantra (ini memang benar, tapi), apakah patut kritik saya dibilang kritik yang lengkap? Apakah patut tulisan saya itu disebut kritik karena saya sebenarnya belum memeriksa semua kemungkinan pembacaan sajak ini? Apakah patut saya disebut seorang kritikus?

Sudah jelas kalau tulisan seorang kritikus akan dipengaruhi oleh latar belakangnya, apakah tidak lucu kalau kemudian kritikus itu sok-sok menganggap tulisan yang dikiritiknya tidak ada hubungannya dengan latar belakang penulisnya? Penulis sudah mati? Ya, kau yang membunuhnya Kritikus Sialan!

Kembali ke sajak kita (sebelum saya membunuhnya juga dengan melupakannya sama sekali), sajak ini adalah sajak yang naratif. Banyak sajak tentu yang sebenarnya memang prosa yang ditulis dalam baris-baris sehingga kelihatannya seperti puisi. Baca banyak sajak Billy Collins misalnya, atau Hasan Aspahani. Memang tantangan membuat puisi mungkin itu (paling tidak puisi lirik), bagaimana menggubah lirisisme yang kita rasakan, semacam aku melihat matamu dan di matamu ada aku, dalam kata-kata yang tidak sekedar menceritakan itulah yang terjadi tapi dalam puisi (apa pun itu kek) yang bisa membangkitkan rasa itu lagi untuk pembacanya setiap kali ia membacanya. Jadi misalnya, kalau saya tulis saja, ‘di matamu ada aku’, pembaca akan membacanya, mungkin bisa mengerti apa yang saya maksud, tapi (selain berpikir duh menye-klise banget sih) setelah itu ya sudah, kalimat (tak layak dibilang baris) ini bisa dibuang saja, sudah selesai tugasnya, dia hanya menceritakan apa yang terjadi, suatu saat, mungkin di tepi sebuah danau dengan kabut yang mengambang di atas permukaannya yang (tentu saja) tenang, ‘di matamu ada aku.’

Literature is news that STAYS news (Ezra Pound, ‘ABC of Reading’, hlm. 29). Saya suka nggak yakin juga macam apa news yang akan STAY news itu. Tapi biasanya sih kita tahu begitu kita melihatnya. Misalnya saja (ini saya pilih random dari rak buku saya), 'both of us hapless outcasts at the farther end of the sky; meeting like this, why must we be old friends to understand one another?' (Po Chü-i, ‘Song of the Lute’ dalam Burton Watson (penerjemah), ‘The Columbia Book of Chinese Poetry’, hlm. 252.) Bisa saja hal itu benar-benar terjadi, two hapless outcasts meeting at the farther end of the sky and feeling like they’re best friends already, tapi satu hal saja, setelah membaca ini anda ingin membacanya lagi bukan, dan lagi, dan lagi. Tanpa harus menganalisa bagaimana Po Chü-i melakukannya, dua baris itu tidak seperti kalimat gubahan saya di atas atau sekolom berita di Kompas, kita tidak akan merasa cukup hanya mengingat apa yang diberitakan oleh baris-baris itu, kita akan ingin membacanya dan lagi dan lagi, seakan-akan kata-katanya jadi lebih penting daripada apa yang diberitakannya. Ya, seakan-akan dua baris itu adalah news that STAYS news.

Nah, sajak ‘Mangga muda’ ini di banyak tempat terasa seperti cerita yang bisa merasakan ada puisi di balik ceritanya dan ingin melompat ke situ dan hup! bah! ternyata perhitungannya kurang tepat, lompatannya kurang jauh dan terjerembablah dia kembali ke narasi cerpen korannya. Tapi di beberapa tempat, sajak ini juga terasa seperti puisi yang tertatih-tatih memaksa untuk bercerita!

Sajak ini banyak menggunakan jurus pengulangan, seperti ‘kuketuk pintunya / kuketuk pintunya’ atau ‘kuketuk pintunya / kuketuk pintunya / kuketuk pintunya’ dan ini kadang-kadang terasa seperti usaha penulis untuk memuisikan cerita ‘Mangga muda’-nya tapi kadang-kadang juga terasa sepertinya mungkin justru ini yang lebih ingin dilakukan si penulis, mengulang-ulang kata-katanya begitu saja, terus saja, seperti mantra. Dan di sinilah, misalnya, pentingnya latar belakang penulis tadi. Mungkin, karena penulis ini (kelihatannya) memang orang Indonesia, salah satu bentuk puisi yang paling familiar buatnya, terdengar paling alami di telinganya, mungkin tanpa dia sadari, adalah mantra. Atau, dan ini ada juga hubungannya dengan si penulis adalah orang Indonesia, mungkin dia banyak baca balada-balada Rendra.

Cerita sajak ini adalah seorang suami yang dengan kelihatannya agak berat hati dan karena itu malas-malasan mencarikan mangga muda untuk istrinya (mungkin karena dia baru ngidam ini jam ‘setengah dua belas malam’). Tapi rasanya si suami berangkat bukan untuk istrinya karena ‘Menatapnya aku berpikir / ‘ah … itu yang meminta anakku sendiri’’. Seperti Hercules dengan satu tugas saja dia mengalami berbagai rintangan dan dia bukan Hercules jadi semua rintangan itu tidak bisa dia lalui juga sampai akhirnya dia sampai di ‘… pasar kampung kami / jam dua belas malam …’ tapi dasar bukan Hercules dia takut masuk pasar yang dia dengar penuh preman dan langsung balik kanan tapi baru ‘… berjalan dua langkah …’ dia sudah dihadang oleh ‘… tiga orang pemuda …’ dan ‘… lelaki / baju hitam-hitam dan wajah tanpa ekspresi’ ‘di belakang mereka …’

Si suami ditikam mati oleh ketiga preman dan satu laki-laki misterius ini. Tapi dari tadinya cerita yang gampang sekali diikuti, tiba-tiba di sini sajak ini menjadi agak misterius, atau mungkin, paling tidak jadi lebih susah diikuti, saya tidak tahu. Lebih baik saya kutip hampir semua bagian akhir ini:

‘aku jatuh rebah kulihat banyak sekali darah
tiga preman itu kabur membawa dompetku yang isinya tak seberapa
tapi lelaki itu tinggal
dia jalan mendekatiku dengan wajah tanpa ekspresi diulurkannya tangannya
pusarku berkedut menuntut tanganku menyambut tangannya
rasanya seperti berkenalan dan kutahu dia bukan Tuhan
dia bukan Tuhan
tapi tangannya sejuk dan aku seperti melayang’

Apakah tiga preman ini = the three wise men, tiga magi dalam cerita Injil Matius tapi kali ini yang benar-benar telah diperalat Herod = si lelaki baju hitam-hitam bukan Tuhan itu untuk menemukan dan membinasakan Kristus = si suami? Apa penulis sajak ini seorang pastur? Atau murid seminari Gonzaga? Untuk sementara ini, karena saya memang tidak tahu siapa penulis ini dan dunianya seperti apa, saya tidak tahu. Tapi bagian terakhir ini menurut saya, dengan nada setengah bercanda ringannya, adalah sebuah meditasi, sebuah puisi, tentang Tuhan dan kematian yang cukup indah.

Kalau lelaki yang tinggal itu bukan Tuhan terus siapa? The Grim Reaper karena bajunya hitam-hitam? Tapi dia mengajak salaman (jadi tangannya tidak sibuk memegang sabit raksasa) dan ‘… menyambut tangannya / rasanya seperti berkenalan … tangannya sejuk …’ Malaikat kematian biasanya tidak seramah ini.

Atau sebenarnya dia memang Tuhan, yang membiarkankan si suami ‘melayang’, bebas dari beban mencarikan mangga muda buat istrinya, hanya si suami terlalu merasa bersalah dengan ketidakbertanggungjawabannya ini (‘… tangannya sejuk dan aku seperti melayang’ tidak kedengaran seperti dia terlalu keberatan mati ditusuk preman-preman pasar itu) sehingga tidak mau mengakui bahwa sekalipun mungkin si lelaki baju hitam-hitam tanpa ekspresi ini adalah Setan dia adalah Tuhan penyelamat baginya?

*pernah dimuat di kemudian.com
Blogged with the Flock Browser