Tuesday, May 09, 2006

DETIK-DETIK INDONESIA DI JAM TANGAN BULE JERMAN

Detik-detik Indonesia/Indonesisches Sekundenbuch
Martin Jankowski
IndonesiaTera, Desember 2005
120 halaman


Buku ini saya temukan di rak Novel Indonesia di Gramedia Plaza Semanggi. Sampulnya potret pasar basah sehabis hujan, dua orang perempuan muda tertawa lebar di atas sepeda motor bebek Yamaha merah, seorang ibu-ibu cemberut berjilbab hot pink naik sepeda jengki di belakangnya, semuanya di atas jalan yang terbuat dari batang-batang kayu pipih menghitam karena usia dan air hujan. Sepertinya pasar ini ada di sebuah dermaga, atau di atas sungai, mungkin pintu masuk sebuah pasar terapung.

Sampul ini mirip dengan sampul-sampul buku akademik tentang Indonesia (eg., lihat seri non-fiksi Equinox, sampul-sampulnya juga dibagi dua antara potret dan blok warna polos dengan teks judul dan pengarang sekecil mungkin, hanya potret mereka ditaruh di atas, baru blok warnanya di bawah, buku ini kebalikannya), menjual semacam kitsch penderitaan manusia Indonesia: lihatlah, betapa miskinnya mereka, betapa joroknya pasar ini, dunia mereka, tapi betapa bahagianya! Tertawa-tawa di atas sepeda motor berbensin timbel yang setiap hari memelorotkan IQ mereka! Betapa berwarnanya hidup, merah, merah muda, hijau sayur, oranye dan biru terpal! Oh, betapa lucunya!

Tapi dari komentar Goenawan Mohammad di sampul belakang (satu-satunya, sebuah esai mini?) ketahuan bahwa buku ini ternyata adalah buku puisi. Dan setelah membuka bungkus plastiknya yang menjengkelkan (kenapa bungkus plastik itu selalu begitu ketat, begitu kuat, dikukupun tak langsung tembus? Kenapa percetakan tidak menyimpan tenaga mereka untuk memperkuat jilidannya saja?), ketahuan bahwa ternyata ini adalah buku puisi dwibahasa, Indonesia dan Jerman. (Komentar Goenawan Mohammad tidak memberitahukan ini—catatan untuk cetakan ulang, kalau ada.)

Benar-benar dwibahasa, bahkan kolofonnya pun didwibahasakan (hanya "Catatan"-nya yang tidak diterjemahkan, dan sayang, karena saya justru ingin tahu bagaimana hal-hal yang biasa buat orang Indonesia, eg., "Tofu/Tahu", "Waringinbaum/Pohon beringin", "Ojek" dijelaskan pada pembaca Jerman—catatan satu lagi untuk cetakan ulangnya).

Sebenarnya banyak juga buku-buku puisi dwibahasa seperti ini bergeletakan di rak-rak toko buku (loak biasanya) di Indonesia. Tapi memang kebanyakan terjemahan puisi-puisi Indonesia ke dalam bahasa Prancis atau Inggris, eg., Santa Rosa, edisi dwibahasa Indonesia-Inggris sajak-sajak Dorothea Rosa Herliany—penyunting buku ini—terjemahan Harry Aveling, atau antologi dwibahasa, eg., Anthologie Bilingue de la Poésie Moderne Française suntingan Wing Kardjo. Jarang ada penyair asing yang satu bukunya komplit diterbitkan berdwibahasa di Indonesia. Apalagi penyair asing yang menulis sajak-sajak tentang Indonesia. Sajak berbahasa asing tentang Indonesia yang pernah diterbitkan dalam bentuk dwibahasa seingat saya hanya sajak R.F. Brissenden "Walking Down Jalan Thamrin" (yang satu ini "Jalan Thamrin di Denpasar", baris pertamanya), yang diterjemahkan jadi Menyusuri Jalan Thamrin oleh Sapardi Djoko Damono dalam antologi dwibahasanya Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia.

Menyertakan bentuk asli bahasa Jerman sajak-sajak ini (Martin Jankowski memang orang Jerman, selengkapnya klik saja www.martin-jankowski.de) banyak keuntungannya. Kita bisa melihat bentuk wadag asli sajak-sajak ini (biasa saja, vers libre, dengan stanza cukup panjang), dan, karena sajak-sajak ini semuanya tentang Indonesia, kita bisa melihat dengan kata-kata apa Martin menerjemahkan apa yang dilihatnya di Indonesia (atau tidak perlu diterjemahkan? eg., becak tetap becak, angkot tetap angkot, ojek tetap ojek. Bahkan bis pun, yang seharusnya bus, tetap bis (dalam "lalu lintas dalam kota, versi Indonesia")), kemudian akhirnya kita bisa melihat kata-kata apa yang dipilih oleh penerjemahnya untuk menerjemahkan sajak-sajak berbahasa Jerman tentang Indonesia ini (kembali) ke dalam bahasa Indonesia (atau bukan bahasa Indonesia? eg., klopfen lässige sprüche diterjemahkan jadi "berlagak santai dan cool" dalam "Bali Beach Boys" (judul asli "Bali Beach Boys")), dan ini jadi lebih menarik lagi karena penerjemahnya adalah Katrin Bandel, orang Jerman juga! (yang sudah sejak kira-kira tahun 2001 menulis esai, puisi dan cerpen dalam bahasa Indonesia. Kumpulan esainya Sastra, Perempuan, Seks mungkin kritik sastra Indonesia paling sedikit basa-basinya akhir-akhir ini.)

Seorang penyair berbahasa ibu Indonesia mungkin akan tergoda untuk menerjemahkan puisi yang ia lihat dalam rangkaian kata-kata Martin daripada rangkaian kata-kata itu sendiri. Karena toh rangkaian kata-kata itu usaha untuk menerjemahkan sebuah puisi yang Martin rasakan, atau lihat bukan? Kalau menurut penyair Indonesia ini kata-kata yang dipilih Martin kurang pas, pantaskah ia sebagai penerjemahnya memilih kata-kata yang lebih pas, dengan alasan ia lebih tahu bagaimana menerjemahkan puisi, oke, roso, tadi dalam bahasa Indonesia? Jawabannya mungkin boleh-boleh saja asal kalau terjemahannya jadi cukup jauh dari kata-kata aslinya, ie., kalau terjemahan vers libre Martin jadi terlalu libre, si penyair penerjemah ini akan punya kewajiban untuk menyebut terjemahannya, eg., Imitasi, ala Robert Lowell.

Katrin Bandel, sebagai orang Jerman yang menulis dalam bahasa Indonesia dan Jerman dan menerjemahkan puisi Jerman ke dalam bahasa Indonesia mungkin justru tidak punya godaan ini. Mungkin dia tidak akan tergoda untuk sok lebih tahu, ataupun tersentil egonya karena hei, ini bahasa ibuku, tentu aku lebih tahu! Yang tersisa hanyalah masalah klasik penerjemah yang menerjemahkan ke dalam bahasa yang bukan bahasa ibunya: bagaimana membuat terjemahannya jadi sealami, seasli, seidiomatik mungkin?

Kalau melihat dari bahasa Indonesianya di buku ini, dan di esai-esainya di Sastra, Perempuan, Seks, Katrin juga tidak punya masalah ini:

Jakarta itu besar
taruhlah kau mau ke
pertama kau naik ojek sampai
lalu pakailah angkot ke
di situ masih ada becak tapi becak itu hanya boleh membawamu sampai
setelah itu kau mesti melanjutkan perjalanan dengan bajaj

("lalu lintas dalam kota, versi Indonesia")

Mungkin hanya "pakailah" dan "melanjutkan perjalanan", terutama "-lah" dan "me-"-nya di atas yang kedengaran agak kaku, terlalu formal. Mungkin Katrin ingin menghindari penggunaan "naik" di atasnya dan belum senyaman Amir Hamzah memenggal bentuk resmi kata kerja. Tapi pemenggalan baris-barisnya setelah preposisi ke, sampai, ke, sampai, yang menipu seakan-akan itu awal sebuah enjambment dan ada lanjutannya di bawah, terdengar sangat segar, hanya sehelai rambut dari bahasa lisan.

Justru ini menunjukkan mungkin Katrin di sini melakukan apa yang saya kira bisa saja dilakukan oleh penyair penerjemah berbahasa ibu Indonesia tadi. Apakah baris-baris berbahasa Jerman Martin terjemahan dari transkrip dari penggalan-penggalan petunjuk arah yang dia dengar waktu tersesat di Jakarta? Saya tidak tahu. Apakah Katrin tahu? Seberapa dekat hubungan penyair-penerjemah mereka? Saya tidak tahu. Tapi coba bayangkan seandainya iya, bisa saja cara penerjemahan yang tergampang adalah Katrin bertanya pada Martin penggalan-penggalan tadi aslinya bagaimana? (Coba lihat trasnkripnya, apa kamu sempat merekamnya?) Dengan cara ini Katrin akan menerjemahkan sebuah terjemahan kembali jadi bentuk sebelum ia diterjemahkan. Semacam usaha untuk mendekatkan puisi Martin pada kenyataan di sini (Jakarta, kelihatannya, dalam sajak ini). Semacam usaha William Carlos Williams menulis sajak-sajak tentang Paterson menggunakan "the speech of Polish mothers", penduduk kota itu.

Cara yang lain tentu, dan bisa saja ini justru lebih gampang lagi, menggunakan imajinasi kepenyairan Katrin sendiri untuk membayangkan kira-kira bagaimana petunjuk-petunjuk arah dalam bahasa Jerman itu akan terdengar dalam bahasa Indonesia dan bagaimana merangkainya menjadi sebuah sajak.

Tapi mungkin sebenarnya tidak begitu penting mengira-ngira bagaimana Katrin menerjemahkan sajak-sajak Martin. Yang lebih penting adalah hasilnya. Dan sebagai sajak-sajak Indonesia, ada yang sangat menyenangkan: kejernihannya. Seperti menonton kembali hal-hal yang sering kita lihat setiap hari di jalan-jalan, setelah disulak dulu debu-debu di permukaannya:

manusia dengan kaki kotor
dan kemeja bersih di tengah asap

("tiba di Jakarta")

Martin sering menangkap sulawan-sulawan seperti ini. Seperti juga preman yang lebih "punya harga diri" daripada polisi di "Razia dekat Lembar di Lombok", atau penjaga pura di Bali yang menuduh orang Jawa "kotor" kemudian "membungkuk … minta sumbangan sepuluh kali lipat dari yang biasa" (di "Pertukaran budaya"), atau Sri Sultan yang "Sekretarisnya komputer, kereta kencananya Mercedes" (Sri sultan sedang tidur (Bangsal Itu)").

Kelihatannya ini yang dimaksud Goenawan Mohammad dengan "nada dasar … terpesona, … terbelalak" sajak-sajak Martin di komentarnya di sampul belakang. Tapi kurang tepat menyimpulkan nada (apalagi nada dasar!) sajak-sajak Martin sebagai sesuatu yang terpesona dan terbelalak. Yang sering diamati Martin, seperti dalam contoh-contoh di atas, adalah kemunafikan, anakronisme, mungkin keabsurdan poskolonial dunia ketiga yang kelihatannya lebih sering membuatnya nyengir, tertawa kecil (mungkin sekali dalam hati) daripada terpesona atau terbelalak, yang kemudian diungkapkannya dengan sulawan dan ironi yang nadanya cukup datar, deadpan (dengan muka tenang anggota-anggota Rammstein saat menghadapi panah api di panggung, khas orang Jerman?), dan tidak jarang lucu, membuat kita nyengir hehehe juga.

Goenawan membandingkan puisi-puisi "perlawatan", "tualang" Martin yang terpesona dan terbelalak dengan Sitor Situmorang yang "terpekur". Saya rasa kalau memang mereka harus dibandingkan, perbedaannya bukan itu. Sajak-sajak Sitor jauh lebih banyak "aku"-nya. Sajak-sajak tualang Sitor terasa sepi dan terpekur karena "aku" Sitor adalah aku si anak hilang yang memang sering merasa sepi dan terpekur:

—luka dalam pun terus menganga—
sayatan panah kenangan di dasar jiwa
bisikan purba, air dan langit Danau Toba.

"Sayatan panah kenangan" yang biasa saja mungkin, kalau saja ia tidak ditembakkan oleh angin danau Zürich! ("Angin danau Zürich" juga judul sajak ini.)

Sementara sajak paling terpekur dan sepi di buku Martin adalah sajak terakhir, "Surat musim gugur ke Bandung", satu-satunya sajak (seperti yang diisyaratkan judulnya) yang tidak berlatar Indonesia, walaupun tetap tentang Indonesia juga, tentang betapa si aku merindukannya:

dalam gelap kamar-kamar jerman cahaya
selatan masih menyala

di mataku
aku buta

Apa si aku buta karena matanya becek dengan air mata? Atau kenangan-kenangan indah menyilaukan bersinar neon 100 watt?

Sitor terpekur dan sepi di tualang, sementara Martin sepi menangis sendirian di negeri, rumah, kamarnya sendiri. Itu perbedaannya. Itu bukan terus berarti selama tualangnya di Indonesia Martin kemudian selalu gembira, terpesona, terbelalak. Seperti juga saat Sitor mampir ke rumah, kesepiannya juga tidak terus langsung hilang:

gembira—barangkali—pulang
bingung mencari tanda-tanda asli
di tengah malam
asal semula.

("Di pegunungan Tanah Karo (alam asal semula)")

Tidak banyak aku lain di sajak-sajak Martin karena mungkin raison d'être mereka adalah ini:

hanya orang yang pernah menyaksikan ramainya arakan ke pura di hari raya
yang mengenal cahaya berkelip-kelip di tengah hijaunya padi muda
dan melihat warna langit di atasnya akan percaya pada lukisan-lukisan itu
bahwa burung-burung bunga teratai ikan-ikan selembut mimpi
penggembala itik dan perempuan di pemandian itu
sungguh ada dan cahayanya pun sungguh seperti itu

("Perpisahan dari Ubud")

Supaya orang-orang yang tidak pernah menyaksikan ramainya arakan ke pura percaya bahwa semuanya sungguh ada dan sungguh seperti itu, kelihatannya dalam detik-detiknya di Indonesia Martin memutuskan untuk melupakan aku-nya, mebuat sajak-sajaknya menjadi potret-potret Indonesia yang tentu saja sudah dia manipulasi dengan magic wand Photoshop Penyairnya, distort di sini, blur di sana, sharpen di mana-mana.

Semua orang yang berusaha mengekspresikan puisi yang dilihatnya di tanah asing mengalami kegalauan sama yang dialami Van Gogh di Nuenen, waktu dia memutuskan untuk menjadi perekam kehidupan petani. Van Gogh merasa dia harus melukis mereka seperti bagaimana mereka akan melukis mereka sendiri. Melihat dunia dengan kacamata mereka (atau tanpa kacamata, karena mereka terlalu miskin untuk membelinya!). Dengan obsesi inilah Van Gogh melukis Pemakan Kentang.

Dalam sajak-sajak Martin ada obsesi yang sama. Yang dia wujudkan dengan memberi tempat sebanyak mungkin pada suara-suara orang Indonesia sendiri (eg., "Ayu" di "percakapan di tengah macet lalu lintas di Menteng, Jakarta"). Dengan rendah hati meminjam suara-suara mereka, dan membuka hatinya pada apa sebenarnya yang terjadi di tempat-tempat yang dikunjunginya (Wonosari, Depok, Kebun Rendra, &c.)—kehangatan Martin (eg., "dan menerima semangkok / gado-gado yang / harum bumbunya mengisi hari / aku tidak memesan dessert / tapi ketika aku pergi tanpa pamit / dia berkata sampai bertemu besok" - "Gado Gado") membuat saya jadi semakin sebal dengan V.S. Naipaul yang gelisah skeptis waktu dia datang ke Indonesia di Among the Believers dan nyinyir sinis waktu dia datang lagi untuk Beyond Belief—Martin berhasil membuat sajak-sajaknya terdengar asli tanpa kehilangan suaranya sendiri.

Mikael Johani tinggal di Ciledug, Tangerang, di atas jam 9 malam dari Gambir naik angkot C01, lima ribu sampai depan kompleks.

Monday, May 01, 2006

YANG HILANG DARI ELLIPSIS ADALAH INDONESIA (YA DAN TERUS KENAPA?)

Ellipsis: poems and prose poems
Laksmi Pamuntjak
Jakarta: Pena Klasik, 2005
89 halaman

Buku kecil berwarna biru gelap berisi sajak dan sajak prosa bahasa Inggris Laksmi Pamuntjak ini mengejutkan karena saya tidak menyangka Laksmi bisa menulis seperti ini. Dia lebih terkenal (dan mungkin hanya di antara gastronomer Jakarta) sebagai penulis Jakarta Good Food Guide yang isinya terlalu banyak penyedap rasa. Laksmi lebih peduli menciptakan kembali suasana restoran, sehingga sering lupa memberitahu sebenarnya rasa makanannya seperti apa. Contohnya dia mengutip salah satu temannya yang setelah makan foie gras di Oasis langsung berteriak, "I thought I had died and gone to heaven!" ("Mati aku, dan sekarang aku di surga!"), sementara kita yang belum pernah ke surga tetap bingung rasa foie gras Oasis itu seperti apa. Karya terakhirnya sebelum ini pun mengecewakan, kumpulan terjemahan puisi-puisi Goenawan Mohammad ke bahasa Inggris yang kehilangan banyak kekuatan aslinya karena Laksmi terlalu banyak menerjemahkan maksud dan arti daripada gambar (eg. "and allow the globules of blood in the glass to mold" untuk "membiarkan gumpal darah di gelas itu menghijau" di "Di Kota Itu, Kata Orang, Gerimis Telah Jadi Logam"—'menghijau' mungkin maksud/artinya memang 'mold', menjamur, tapi dengan memilih kata 'mold', bukan 'go green' misalnya, Laksmi jadi kehilangan warna hijau itu).

Tapi anehnya, perhatian Laksmi yang besar kepada rekonstruksi suasana, seperti polisi yang mencoba merekonstruksi TKP seakurat mungkin, jadi hal yang menguntungkan di buku berjudul Ellipsis ini. Detail yang dikumpulkannya begitu banyak sehingga mereka akhirnya tanpa diminta pun menumpahkan artinya sebagai tanda terima kasih untuk kebaikan Laksmi memungut mereka sebelum lenyap: "… the break / of day from a moving train: / it leaks its sheen little by little, / as if from a level distillery; spreading sideways as opposed to top down, …" "pagi / dari balik jendela kereta / bocor rintik-rintik cahayanya / dari tong telentang / jatuh bukan ke bawah, ke samping malah, …" ("Night Train: Mid-March"), atau waktu dari balik jendela pesawat yang baru tinggal landas dari La Guardia dia melihat New York "… the city lies tall … a magic cathedral; all, seemingly, / within the span of a human hand." "… kota itu, jangkung, … katedral ajaib; semua, sepertinya / muat di telapak tangan."

Laksmi menulis tentang banyak tempat-tempat asing, dengan idiom asing (paling tidak, bukan Indonesia) pula ('level distillery'—tidak dijelaskan metafora ini dari mana, yang jelas bukan dari pabrik anggur Cap Orang Tua) sehingga buku ini kadang terasa seperti Lonely Planet: Lyric Poetry, yang memuat ulasan tentang kota-kota yang membuatnya tergoda untuk mengambil pena dan menggubahnya menjadi sajak. Dari judulnya saja (banyak tempat lain di sajak dengan judul-judul lain yang bukan nama tempat, baik yang disebutkan maupun dirahasiakan): Vermont, La Guardia, Shanghai, Bourbon (New Orleans), Picasso Museum (Barcelona). Tentu Laksmi bukan penyair Indonesia pertama yang melakukan ini, dia hanya mengikuti jejak petualang-petualang lain, Sitor Situmorang, Rendra, Goenawan Mohammad. Yang membuat saya menanyakan hal tidak penting itu: tapi buku ini ditulis dalam bahasa Inggris, bisakah dia dianggap sebagai sastra Indonesia?

Tidak penting, kecuali kalau dalam sajak-sajak ini Laksmi, baik dengan bahasa, tema, ritme, jiwa, atau apapun, ingin menunjukkan keindonesiaannya. Kalau memang begitu, akan ada dua masalah, bagaimana menunjukkan keindonesiaan dengan bahasa Inggris, dan berhasilkah ia? Tapi kalau tidak, ya, tidak ada masalah. Kalau begini kita bisa tenang membaca buku ini dan menilai sajak-sajaknya hanya dari sisi estetika formal, seperti apakah bahasa(Inggris)nya bagus? Apakah dia berhasil menggubah kepuitikan yang dia lihat di La Guardia, di Vermont, di Bourbon, menjadi puisi yang bisa membuat kita merasakannya lagi?

Dalam soal bahasa, selain menggunakan kata 'bubur ayam', 'rendang', dan 'wayang purwa' tanpa dimiringkan seperti yang, misalnya akhir-akhir ini, dilakukan Monica Ali dengan patois Bengali di Brick Lane dan Rattawut Lapcharoensap dengan istilah-istilah Thailand seperti 'luk' di Sightseeing, mengeja nama Bisma, Salwa, Wisnu, Siwa, Krisna, Karna, Gayatri dan Amba dengan ejaan Indonesia, dan sekali menyebut Taman Ria, tidak begitu banyak keindonesiaan di 35 sajak di buku ini. Beberapa kali Laksmi menulis tentang 'love motel', satu puisi bahkan berjudul "The Love Motel", dan ini adalah sesuatu yang (selain khas Spanyol, juga) khas Indonesia. Orang Jakarta menyebut tempat seperti ini antara lain sebagai Hotel Transit, dan perbuatannya sebagai 'check-in' ("Gila, check-in di situ murah banget ya!", misalnya), tapi Laksmi memilih memakai idiom Inggris untuk menggambarkan tempat ini (dan yang halus juga, bukan yang lebih kasar, Fuck Motel misalnya, walaupun dia memakai kata itu sendiri, 'Fucking', di baris ketiga, mungkin karena dia ingin melihat yang indah di perbuatan yang kotor ini, mungkin karena 'fucking' tidak sepenting 'love': "Fucking came second on the agenda, …", "Seks? Itu urusan nanti, …"). Ini bisa diinterpretasikan dua cara: dia tidak melihat kemungkinan untuk mengembangkan, paling tidak untuk dia sendiri, patois Inggris-Indonesia (Indonglish?) yang sekarang mungkin salah dan tidak idiomatik tapi menarik sebagai eksperimen dan mungkin di masa datang akan menjadi cukup kuat untuk menerobos masuk Oxford English Dictionary, seperti yang sudah terjadi dengan patois India, Karibia dan Singapura misalnya, atau dia melihat kemungkinan itu tapi memilih untuk menggunakan Inggris yang benar dan idiomatik tapi aman. Dan memang (untungnya!) menurut saya di antara penulis-penulis Indonesia lain yang menulis dalam bahasa Inggris, saat ini Laksmilah yang idiomnya paling terdengar alami.

Isi tentang Indonesia tidak banyak, yang paling menarik mungkin di "The Love Motel" waktu pasangan yang sedang check-in di cerita ini (bentuknya sajak prosa 4 paragraf) keluar makan bubur ayam dan menemukan "… wedged between the parsley, the spring onions and the fried shallots was the omelet (sic), rolled and sugared like tamago. Though they were suckers for Chinese food, they were both Javanese—quick to appreciate sweetness in unexpected places." "… di antara seledri, daun bawang, goreng bawang: telur dadar, digulung dan digula seperti tamago. Mereka paling senang Chinese Food, tapi mereka juga Jawa—suka yang manis-manis, apalagi yang tidak seharusnya." Ada juga sajak prosa tentang rumah lamanya, "Home" (yang menyebut 'rendang'), cerita Amba di Mahabharata ("After Bisma Defeated Salwa"), sindiran tentang tamu pesta kawin ('all 1,400 of them', di "Lives"), dan kritik tentang jilbab ("so clearly a mock skin that belies / what simmers beneath." "jelas hanya kulit palsu yang membungkus / yang mendidih di baliknya.") di "Woman Child" yang juga menyebut 'Taman Ria' dan 'wayang purwa' tadi, tapi mereka pengecualian. Kelihatannya memang lebih baik, paling tidak untuk sementara, untuk meninggalkan masalah keindonesiaan sajak-sajak ini dan memeriksa estetika formalnya lagi.

Bicara tentang estetika formal, bentuk, bahasa, tema, etc., tentu kita harus bicara tentang pengaruh. Tersangka pertama adalah Sylvia Plath, bukan hanya karena salah satu sajak di sini berjudul "Afternoon of the Petunias: An Ode to Sylvia Plath" "Bunga-bunga Petunia Siang Itu: Oda untuk Sylvia Plath", tapi juga karena gaya Laksmi mirip. Banyak menyebutkan bunga, 'verbena', 'magnolia', 'petunia', 'begonia', 'jasmine' dan menjelaskan anatominya; banyak menyebut warna 'blue' (warna duka?) bahkan "the slate blue of / de Chirico" "hijau biru de Chirico" ("La Guardia …")—Plath menulis paling tidak dua puisi "Conversation Among the Ruins" dan "The Disquieting Muses" diinspirasi oleh/tentang lukisan de Chirico berjudul sama; banyak menggunakan nada kalimat, seperti nada di baris-baris sajak Plath, yang sering terdengar ingin membuka obrolan, pernyataan yang kemudian diikuti pertanyaan ragu-ragu, eg. "Heaven's palette, Louisiana kitsch, Vasculum. In which order?" "Palet surga, kitsch Louisiana, Vasculum. Mana dulu?" ("Box"); banyak mengabsen nama dewa-dewi Yunani Kuno (walaupun ini biasa di penyair-penyair Anglo-Saxon lain, angkatan manapun), 'Artemis', 'Hades', 'Hera', 'Athena', 'Aphrodite', dan beberapa manusia biasa (sekalipun mitos), 'Antigone', 'Creon', 'Helen' (dua kali).

Secara visual, pembagian stanza vers libre Laksmi lebih acak daripada Plath yang mengatur jumlah baris dalam tiap stanzanya dengan sangat ajek. Pengaturan visual sajak-sajak Laksmi lebih mirip, misalnya saja, dengan sajak-sajak prosa Goenawan Mohammad.

Kebanyakan sajak di kumpulan ini ingin saya sebut sebagai sajak lirik duduk-duduk, sajak lirik yang idenya muncul waktu penceritanya sedang duduk-duduk (adakah yang ditulis saat itu juga? Dalam Moleskine yang menolak duduk anteng di atas paha?). Sekedar contoh, di kereta malam, "Night Train", dua kali, "Mid-January" dan "Late March", dan "In the Train, Like Before"); di kafe, "Two Women Sitting at a Window Table in a Café"—di mana Laksmi duduk? Meja di sudut?; di bandara dan dalam pesawat, "La Guardia One Blue Saturday Afternoon"; di Picasso Museum, dua kali juga, "11 am at …" dan "4.30 pm at …"). Kemudian, sambil sesekali mencontek catatan di tumpukan Moleskinenya dia berceloteh tentang segala macam hal yang tadi berhasil dia amati dari kursinya. Seperti yang sudah saya katakan, Laksmi cukup berhasil merekonstruksi tempat-tempat yang dia lihat itu dengan kumpulan detail seperti laporan pandangan mata wartawan gonzo (mungkin dia harus ganti Moleskinenya setiap beberapa hari!). Contoh yang bagus, ya, cuplikan dari "La Guardia …" di atas tadi: puisi yang hampir saja terjebak menjadi apa yang pernah dijelaskan Pound kepada Eliot sebagai 'hanya fotografi', diselamatkan oleh komentar pendek "semua … muat di telapak tangan", yang menjadi caption mengharukan untuk potret panorama kota New York dan pesawat-pesawat yang sedang menunggu di landasan. Caption ini pun tempatnya pas, di stanza terakhir setelah pesawat (yang ditumpangi penceritanya) tinggal landas. Laksmi menjadikan saat dia menyadari apa arti semua yang dilihatnya itu sebagai puncak sajak, menempatkannya pas di puncak iramanya, pas saat pesawat naik meninggalkan banalitas di darat. Di sajak ini kepuitikan yang dilihatnya (di bangku plastik keras La Guardia!) berhasil diceritakannya kembali kepada pembacanya.

Kebanyakan sajak lirik bercerita tentang kehilangan, begitu juga sajak-sajak Laksmi (judul bukunya saja Ellipsis!): kehilangan tempat tinggal tetap ("Home", "The Dough of You", dan saya curiga semua petualangan keliling dunia Laksmi adalah usaha untuk mencari rumah baru, atau paling tidak untuk mengobati kehilangannya), dan kehilangan kekasih ("The Bed Last", "Love is Like a Bruise", "The Love Motel"—walau yang terakhir ini berakhir dengan seorang wanita yang, kalaupun dia tetap belum menemukan rumah maupun kekasihnya yang sebenarnya, akhirnya paling tidak menemukan siapa dirinya sebenarnya).

Kalau melihat apa yang ingin dia bicarakan, Laksmi terasa sangat dipengaruhi oleh para penyair pengakuan. Penyair yang menjadikan semua tentang dirinya, hidupnya, keluarganya, dosa-dosanya, sebagai subyek utama. Setiap sajak adalah bilik pengakuan. Plath salah satunya juga, dan, yang membuat memamerkan borok sendiri (dan keluarganya) pertama kali jadi hip dengan Life Studies, Robert Lowell. Sajak-sajak seperti ini (tapi hanya yang berhasil) mengejutkan kita dengan keberaniannya untuk jujur, karena tidak seperti di bilik pengakuan, sebuah sajak pengakuan bisa didengar siapa saja. Kelemahannya tentu saja kalau si penyair terus-terusan terobsesi memamerkan dosa-dosanya, dia akan kehabisan dosa untuk diakui (dan apakah dosa selalu menarik?) dan membuat kita bosan dengan obsesinya untuk mengakui dosa-dosanya (satu dosa tersendiri juga!).

Ada dua pengaruh langsung Lowell yang bisa dilihat jelas di Ellipsis, satu, sajak prosa panjang (15 halaman) berjudul "Lives" mengingatkan saya tentang lives di "91 Revere Street", selingan prosa panjang tentang rumah masa kecil Lowell di Life Studies. Dua, permainan kata 'blue' beruntun di "La Guardia …" ("blue collar confessional. / Topaz blue, cornflower blue, the slate blue of / de Chirico …" "pengakuan kerah biru. / Biru topaz, biru Bunga Jagung, hijau biru de Chirico …") mirip dengan yang dilakukan Lowell di "Father's Bedroom" ("blue threads … blue dots … blue kimono … blue plush straps." "benang biru, bulatan biru, kimono biru, tali [sandal] biru."), juga di Life Studies.

Pengaruh Plath yang langsung seperti ini juga ada. Dua sajak "Picasso Museum" Laksmi mengingatkan saya akan "All the Dead Dears", yang ditulis Plath tentang Museum Arkeologi di Cambridge. Ketiga-tiganya merenungi benda-benda mati yang dipamerkan di situ dan ketiga-tiganya diakhiri dengan munculnya waktu, 'clock' dan '4.30' di sajak(-sajak) Laksmi dan "tick / And tack of the clock", "tik / dan tak jam dinding" di sajak Plath, yang mengingatkan penceritanya akan kematian itu sendiri.

Selain itu, penggunaan waktu di kedua judul sajak "Picasso Museum" Laksmi ("11 am" diikuti oleh "4.30 pm") adalah sesuatu yang pernah juga dilakukan Plath dengan "Monologue at 3 a.m." dan "The Surgeon at 2 a.m." Tentu penyair-penyair lain dari manapun dalam bahasa apapun sering juga memakai waktu dalam judulnya, tapi kalau Laksmi menulis odanya untuk Plath karena dia memang senang dan sering membacanya maka pencopetan-pencopetan kecil seperti ini sangat mungkin terjadi, bahkan secara tidak sadar. Tidak apa-apalah, seperti kata Wilde, "Genius steals!" Kita hanya perlu memastikan bahwa kita tahu kemungkinan pengaruh ini, karena Laksmi memilih untuk bekerja di bawah payung tradisi Barat dan kita, pembacanya di Indonesia, harus berjaga agar dia tidak puas berteduh, apalagi sampai bersembunyi, di situ. Jangan sampai rusuh Rendra-Lorca terulang lagi. Ribut-ribut oh, ternyata, betapa besarnya! pengaruh Lorca pada Rendra tidak perlu terjadi seandainya kritikus sastra Indonesia tidak terburu-buru memuji Rendra seakan-akan dia anak ajaib yang jatuh dari langit baru kemudian jingkrak-jingkrak, jenggot terbakar malu sendiri saat kemudian menyadari betapa kental darah Lorca dalam nadi Rendra.

Ada perbedaan yang (mungkin) mendasar antara sajak-sajak Laksmi dan sajak-sajak pengakuan yang berhasil. Di "Afternoon of the Petunias" (oda Laksmi untuk Plath) tertulis bait ini, "Keeping mum: isn't that what this means?" "Bungkam: bukankah itu arti semua ini?", sementara mantra sajak-sajak pengakuan justru bicara, bicara dan bicara. Borok bernanah seperti apa yang ada dalam hidupmu? Pamerkan!

Pernyataan Laksmi yang terakhir ini bisa diinterpretasikan dua cara juga: satu, dia sedang melakukan otokritik terhadap sajak pengakuannya, karena dia sadar Plath pun pada akhirnya (setelah Ariel kira-kira) kehabisan subyek untuk dibicarakan. Dia hanya mengulang-ulang motif dan tema yang sama, kematian, kematian, kematian. Dan mengulang-ulang diri sendiri bukankah sama saja dengan diam? Laksmi (mungkin) sadar dengan kemungkinan ini di sajak-sajaknya sendiri dan karena itu dia mengakuinya. Atau, dua, Laksmi salah mengerti raison d'être Plath dan Lowell dan penyair-penyair pengakuan lainnya dan memutuskan bahwa semua sajak pengakuan, baik yang berhasil maupun yang tidak berhasil, akan berakhir sebagai obsesi tentang diri sendiri dan karena itu tidak ada salahnya juga bicara, bicara, bicara dan menyumpal mulut dengan kata-kata sendiri (wong tidak akan ada yang peduli juga kok, siapa tahu ini kebisuan yang enak).

Kalau hanya melihat sajak-sajak yang dimuat di Ellipsis ini, kelihatannya jawaban kedua lebih benar. Pada akhirnya membaca sajak-sajak di Ellipsis menjadi membosankan karena walaupun Laksmi berpindah-pindah tempat dan waktu tapi semua sajaknya selalu berbentuk keluhan; kira-kira setelah sajak ke-9 di kumpulan ini, "The Bed Last"—tentang sebuah kamar hotel (nanti diulangi lagi di "Hollow" dan "The Love Motel"), kita sudah tahu Laksmi itu seperti apa dan kira-kira nanti kalau dia pergi check-in lagi misalnya, keluhannya akan bagaimana. Chairil Anwar pernah bilang bahwa "pokok-pokok yang berulang-ulang telah mengharukan si seniman" adalah "percintaan, kelahiran, kematian, kesepian, matahari dan bulan". Di Ellipsis ada percintaan (banyak), kelahiran (di sajak-sajak tentang anak, "Silent Prayer for My Daughter on Her 9th Birthday", "by the recovery room"—diakhiri dengan bayinya mati, "A Tiny Seed") dan kesepian ("Ellipsis" dan hampir semua sajak yang ditulis di perjalanan), tapi berulang-ulang terharu di kumpulan ini tidak diikuti dengan berulang-ulang menciptakan cara baru untuk mengungkapkan keharuan (yang berulang-ulang!) itu.

Buku ini perlu lebih banyak kematian. Ada, dia ada, tapi dia muncul terlalu indah, tidak berbau busuk, tidak terasa seperti mati, seperti maskara hitam di muka segar merah muda. Seperti Goenawan Mohammad, Laksmi juga punya semacam sentimentalisme untuk keindahan, obsesi patologis untuk mencari keindahan di kesedihan yang paling dalam sekalipun, ada, ada, pasti ada kalau kita mau melihatnya, kebiasaan yang berguna untuk seorang penyair tapi bisa juga menjadi kacamata kuda yang membuatnya tidak bisa melihat, apalagi merasakan, penderitaan (karena penderitaan itu juga indah).

"And so you nod / and fold your wings / neatly, like / a napkin laid aside. Welcome back, death." "Dan kau mengangguk / melipat sayapmu / rapi, seperti / serbet untuk nanti. Mati, kau datang lagi." ("Words".) Saya kira penggambaran kematian yang indah, bersayap rapi seperti serbet di sini lebih dari sekedar ironi, kelihatannya Laksmi memang melihat kematian sesopan dan setidakberbahaya itu. Ini salah satu contoh bagaimana sentimentalitas untuk keindahan di buku ini benar seperti yang digambarkan Wallace Stevens, "Sentimentality is a failure of feeling." "Sentimentalitas adalah kegagalan merasakan."

Untuk itu saya usul, Laksmi, lirik lagi keindonesiaanmu. Tinggalkan pastiche Plathmu. Sudah terlalu banyak penyair yang mencat sajaknya dengan haru hijau biru de Chirico. Kalau memang kamu akan terus menulis sajak dalam bahasa Inggris, turuti nasihat il miglior fabbro itu, Pound, buat sesuatu yang baru, yang belum pernah dibuat orang lain. Seperti pelacur-pelacur yang memilih bule di untaian fuck motels khatulistiwa kita, juallah keetnikanmu! Barat (paling tidak bahasa Inggris) masih buta tentang itu. Dan mungkin juga dengan mulai memperhatikan Indonesia yang tidak sering kamu kunjungi di buku kecilmu ini mungkin kamu akan menemukan hal-hal baru yang tidak bisa kamu lihat dari balik mejamu di sudut gelap kafe itu, dan bayangkan, mungkin juga kamu akan menemukan cara-cara baru untuk mengungkapkan keharuanmu. Bungkam: bukan itu lagi artinya! Menarik bukan (paling tidak) kalau misalnya kamu justru menulis "the slate blue of the South Sea", dengan alusi Nyai Roro Kidul dan Nyi Blorong! Baru, dan bahkan, seperti juga banyak hal lagi yang bisa kamu temukan di Indonesia, lebih berbau kematian (menyan!) daripada seribu kanvas de Chirico.

Mikael Johani tinggal di Ciledug, Tangerang. Tidak giat di komunitas manapun.